Beberapa bulan lalu saat naik Gocar, pengemudinya berdiskusi dengan saya. Ia bertanya: “Kalau saya sediakan jajanan dan minuman gratis di mobil ini, menurut bapak bagaimana?”
Saya tanya balik, tujuan melakukan itu apa?
Driver menjawab, “Supaya penumpang senang. Saya bisa dapat lebih banyak order.”
Saya lalu melihat ke aplikasi Gojek. Bapak driver ini rating-nya 4.8. Hampir maksimal. Maksimal menurut saya 4.9.
Tidak pernah saya temukan driver rating 5. Karena tidak semua orang bersedia memberikan rating sempurna. Salah satunya karena menganggap ‘Kesempurnaan itu hanya milik Tuhan semata’ atau ekspektasi penumpang terlampau tinggi.
Kemudian saya beri pendapat.
Di dunia ini hanya ada 3 kunci pertumbuhan usaha melalui 3 tahapan:
- Mendapatkan pembeli.
- Membuat si pembeli membeli lebih sering.
- Membuat si pembeli membeli lebih banyak.
Sudah, itu saja rumus dan tahapannya. Di tahap 1 namanya ‘Pembeli’. Tahap 2 dan 3 namanya ‘Pelanggan’. Yang pada akhirnya menumbuhkan usaha adalah pelanggan yang loyal.
Yang driver hendak lakukan sebenarnya ada di tahap 2 dan 3. Niat ini sudah bagus.
Tapi masalahnya, setiap tahapan ini dikendalikan sepenuhnya oleh operator: Gojek atau Grab.
Mulai dari mendapatkan penumpang, mendapatkan penumpang lebih sering, dan mendapatkan penumpang lebih banyak (nilai order), diatur oleh operator melalui algoritma yang berjalan otomatis.
Algoritma sistem ini tidak mengenal loyalitas penumpang kepada driver.
Kalau saya puas kepada si driver, besoknya ketika saya mengorder Gocar hampir tidak mungkin dapat dia lagi. Karena mungkin dia ada di kawasan lain, sedang ada penumpang, sedang tidak ‘narik’, atau karena hal lain yang ditentukan oleh algoritma Gojek.
Satu-satunya yang mungkin adalah saya mengorder manual lewat telepon tanpa aplikasi Gojek. Itu pun belum tentu berhasil. Karena mungkin si driver lokasinya sedang jauh, sedang ada penumpang, atau sedang tidak aktif.
Selain itu belum tentu juga si driver mau. Karena bila menerima order di luar aplikasi maka driver tidak mendapat poin yang ujungnya adalah bonus uang ‘tutup poin’.
Niat si driver tadi hanya relevan bila ia punya kendali sendiri atas order. Misalnya ia seorang driver rental mobil.
Tapi kalau dikendalikan algoritma-nya operator yang tidak membaca variabel ‘jajanan gratis dalam mobil’, ya sia-sia jadinya.
Si driver masih tidak puas. Ia lanjut bertanya. “Kalau ada jajanan gratis, saya harap saya bisa bintang 5 terus. Kalau selalu bintang 5, maka saya akan selalu dapat order dari Gojek.”
Betul bahwa kalau dia bintang 5 maka order akan selalu datang dari Gojek. Tapi apakah untuk ‘selalu bintang 5’ membutuhkan jajanan gratis? Apa standar ekspektasi konsumen agar memberikan bintang 5?
Standar ekspektasi bintang 5 itu menurut saya: datang tepat waktu sesuai estimasi, mobil bersih rapi dan fit, driver ramah, kabin tenang dan sejuk, serta pemilihan rute. Sudah, itu saja customer exprience yang dibutuhkan.
Kalau terpenuhi insya Allah bintang 5. Bahkan ada sebuah standar yang berlaku di kalangan penumpang kalau tidak ada keluhan serius maka selazimnya beri bintang 5.
Saya sendiri meski kadang sedikit tidak puas, tetap memberi bintang 5. Katanya sih, kalau kurang dari itu bisa ‘mematikan rezeki’ driver. Intinya, toleransi mayoritas penumpang itu cukup tinggi.
Nah, kalau ditambah jajanan gratis, kan tidak membuat jadi bintang 6 apalagi ‘Bintang 7’. Wong mentoknya sampai 5 kok. Artinya, upaya dan biaya atas menyediakan jajanan gratis di dalam mobil menjadi sia-sia kalau dihubungkan pada aspek pertumbuhan usaha. Tidak relevan.
FITUR YANG JADI BEBAN
Hal seperti ini juga umum terjadi di tingkat yang lebih tinggi: layanan skala perusahaan. Mereka menyediakan fitur yang tak ada hubungannya dengan pertumbuhan usaha, tapi sekaligus jadi beban tetap. Baik secara keuangan, operasional, maupun SDM. Contoh: wifi gratis.
Seorang kenalan saya mengepalai sebuah rumah sakit swasta. Di sana ada wifi gratis. Lokasi rumah sakitnya bagus sehingga sinyal mayoritas operator selular selalu full bar.
Lalu saya tanya ke dia: apa hubungannya menyediakan koneksi internet gratis bagi pasien dan keluarganya dengan pertumbuhan usaha?
Dia jawab, itu value added. Ini jawaban paling klasik.
Iya betul, wifi gratis itu value added. Tapi seberapa besar dampak sebuah wifi gratis dapat menciptakan loyalitas pelanggan dibanding value lain dari rumah sakit itu?
Terutama value-value dasar seperti: keramahan, kebersihan, kerapian, kenyamanan, kecepatan, akurasi, kesigapan, dan kejujuran.
Menurut saya sih orang sakit yang datang ke rumah sakit itu utamanya ingin segera sembuh, dapat layanan yang ramah dan cepat, diagnosis akurat, nyaman tempatnya, dan jujur tagihannya.
Saya tidak pernah temukan ada orang memilih sebuah rumah sakit atau klinik karena di sana ada wifi gratis.
Dia jawab lagi, “Soalnya dulu provider internet bilang konsumen itu butuh layanan internet.”
Lha iya. Yang ngomong itu yang jualan bandwidth internet. Jelas dia akan ngomong begitu. Namanya aja ‘bakul bandwidth’. Sebagai ‘bakul’, si orang provider itu tahu betul bahwa kapasitas bandwidth untuk umum itu tidak akan pernah cukup. Akan selalu kurang.
Apalagi tanpa pengaturan bandwidth yang baik di sisi perusahaan. Karena konsumsi di end-user itu sulit terkendali. Akibatnya perusahaan akan selalu beli bandwidth tambahan.
Artinya uang akan terus keluar untuk membayar provider internet untuk sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan pertumbuhan usaha.
Menyediakan wifi gratis itu juga tidak sekadar beli bandwidth dari provier lalu urusannya selesai. Belanja modal dan belanja rutinnya banyak.
Harus beli access point, kabel LAN, alat kelistrikan, mikrotik, dll. Setelah terpasang pun harus di-maintain. Kalau ada keluhan harus di-troubleshoot.
Sementara tiap bulan biaya-biaya ini harus keluar terus dan cenderung makin besar. Tapi apakah semua pengorbanan dan beban ini berdampak langsung pada naiknya jumlah pasien atau nilai transaksi? Jelas tidak.
Sedangkan tidak semudah itu bagi perusahaan untuk menghapus sebuah fitur meski jadi beban dan tak memberikan dampak langsung pada usaha. Apalagi jumlahnya sudah besar.
Kalau layanan wifi gratis dihapuskan, bagaimana dengan penyusutan belanja modal? Misal beli 10 access point wifi gratis yang kemudian dianggap aset lalu disusutkan sampai 4 tahun. Biaya penyusutan selalu timbul tiap bulan.
Lalu tahun ke-2 wifi gratis mau dihapuskan, maka access point jadi menganggur. Tapi beban penyusutan jalan terus tiap bulan. Kalau diaudit bisa jadi masalah: kenapa ada biaya penyusutan tapi barang tidak terpakai.
Makanya biasanya perusahaan akan tetap menggunakan sebuah fitur meski jadi beban dan tak memberi nilai tambah yang diharapkan. Pokoknya hajar saja terus.
***
Tulisan ini tidak sekadar tentang jajanan gratis pada driver ojol. Atau wifi gratis di sebuah rumah sakit. Tapi sesuatu yang lebih fundamental: perkuat core value dan value proposition kita.
Kerahkan semua sumber daya perusahaan untuk memperkuat value itu karena akan berdampak langsung pada pertumbuhan usaha. Jangan ribet dengan ‘dekorasi’ atau ‘ornamen’.
Pembeli datang dan pelanggan jadi loyal karena kita punya kekuatan pada core value dan value proposition. Bukan pada value added.(*)
Oleh: Hilman Fajrian