Uang sudah kita kenal sejak lamaa sekali. Bahkan sebelum kita lahir. Uang udah kita pergunakan sehari-hari untuk beli ini dan itu. Tapi sayangnya, walaupun kita pegang uang tiap hari, ternyata gak banyak yang tahu sebenarnya uang itu apa sih?
Banyak orang menganggap bahwa uang adalah harta. Makin banyak uang artinya makin banyak hartanya.
Padahal belum tentu.
Sejarah Alat Tukar
Kalau kita kembali ke jaman sebelum ditemukan uang, orang-orang dahulu untuk berdagang menggunakan sistem barter. Tukar menukar barang.
Anda punya sayur, saya punya beras. Kitapun saling menukar barang. Saya dapat sayur, anda mendapatkan beras.
Awalnya tidak ada masalah sampai kemudian kebutuhan manusia semakin banyak sementara tidak setiap pertukaran bisa dilakukan.
Si A punya daging, dia butuh beras
Si B punya beras, tapi dia butuh sayur
Si C punya sayur, tapi dia butuh daging
Harusnya ketiga orang ini bisa saling menukar barang kan? Tapi karena si A tidak bisa menukarkan dagingnya dengan beras karena si B butuhnya adalah sayur, maka pertukaran tidak terjadi.
Ini baru 3 kebutuhan saja. Bagaimana ketika ada 50 macam kebutuhan dengan kepemilikan barang yang lebih kompleks lagi.
Belum lagi tentang nilai barang. Dalam sistem barter nilai barang ditentukan berdasarkan kebutuhan. Kalau orang yang kita tawari tidak butuh ya nilai barang jadi kecil banget. Mau aja dituker dengan barang kecil.
Akhirnya dibuatlah sebuah alat tukar yang memiliki dua fungsi sekaligus. Sebagai alat untuk menukar, juga sebagai alat untuk menilai suatu barang atau biasa disebut Harga.
Sejarah penggunaan alat tukar ini bermacam-macam. Mulai menggunakan garam, gandum, emas, perak, permata, dll. Biasanya dicari barang yang susah didapatkan agar nilainya cenderung stabil.
Barang-barang itu dijadikan patokan nilai barang dan disepakati bersama seluruh komunitas. Dengan alat tukar inilah transaksi bisa terjadi.
Lahirnya Uang sebagai Alat Tukar
Mengingat alat tukar berupa barang ini ternyata bisa diperbanyak dengan mudah, misalnya garam.
Awal-awal garam di Eropa termasuk barang yang susah didapatkan. Tapi seiring waktu ternyata mudah mendapatkan garam. Tidak harus menjual sesuatu untuk mendapatkan garam, bisa langsung mengeringkan air laut.
Atau emas, ternyata makin hari makin banyak orang mencari emas makin banyak orang yang kemudian mencari emas. Ya daripada repot-repot bikin barang dulu untuk mendapatkan emas, kenapa gak langsung aja cari emasnya? Ya toh?
Akibat alat tukar yang bisa bertambah banyak gara-gara orang mencarinya sendiri tanpa melalui proses jual beli, maka nilai alat tukar menjadi semakin kecil. Lha barangnya tersedia banyak. Hukum ekonomi berlaku, makin banyak barang tersedia, nilainya semakin kecil.
Inflasi jadi tak terkendali. Kamu jual sayur hari ini dapat 3 keping emas, eh pas butuh beras besoknya ternyata harga beras sudah 10 keping emas gara-gara barusan ditemukan tambang emas baru dekat situ sehingga nilai emas turun.
Maka kemudian diciptakanlah uang. Uang ini disepakati hanya bisa dikeluarkan oleh raja. Dibuat khusus agar tidak bisa ditiru oleh siapapun. Dengan uang ini, jumlah alat tukar dapat dikendalikan sehingga jumlahnya tidak bertambah sendiri seperti barang-barang yang lain.
Awalnya uang berbahan dasar emas karena waktu itu emas adalah logam yang paling populer dipakai sebagai alat tukar. Untuk membedakan mana emas biasa dan mana emas sebagai alat tukar, dibuatlah cetakan emas.
Tapi ini tidak menyelesaikan masalah. Dengan mudah orang bisa membuat cetakan serupa sehingga lagi-lagi ketersediaan alat tukar jadi tak terkendali
Akhirnya lahirlah uang kertas. Dengan cetakan yang dibuat sangat unik, sulit dan tidak bisa ditiru. Hanya orang-orang tertentu yang mampu membuatnya. Semakin hari semakin canggih pembuatan uang sehingga semakin susah ditiru.
Karena itulah uang jangan dianggap barang. Saya geli sendiri ketika ada yang membandingkan biaya pembuatan uang dengan emas. Ya jelas beda jauhlah. Kan uang itu cuma sebuah alat, sedangkan emas adalah barang.
Biaya pembuatan uang cukup hanya agar uang tidak mudah ditiru dan diperbanyak sendiri. Karena seperti emas atau garam tadi, jika jumlahnya terlampau banyak, harga-harga akan jatuh nilainya.
Lha kalau terlampau sedikit, misalnya ada proyek pembuatan patung emas oleh raja, ya akhirnya harga-harga akan melonjak naik karena ketersediaan alat tukar berkurang.
Maka uang harus dibuat agar tidak dapat diperbanyak oleh sembarang orang. Hanya lembaga pemerintahan saja yang boleh membuatnya dan mengesahkannya sebagai alat tukar.
Itulah sebabnya ketika membahas hadits nabi ini:
“emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, tamr dengan tamr, garam dengan garam, kadarnya harus semisal dan sama, harus dari tangan ke tangan (kontan). Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka kalian, selama dilakukan dari tangan ke tangan (kontan)” (HR. Al Bukhari, Muslim no. 1587, dan ini adalah lafadz Muslim).
Harus dipahami bahwa saat itu, emas, perak, burr, sya’ir, tamr, garam adalah alat tukar. Karena sebagai alat tukar ya harus hand by hand. Dari tangan ke tangan alias kontan.
Tapi di jaman sekarang, sudah tidak ada lagi jual beli menggunakan emas, perak apalagi garam. Semua negara menggunakan uang sebagai alat tukarnya. Karena ya itu tadi, sifat alat tukar itu harus mampu dikendalikan peredarannya.
Maka barang-barang yang disebutkan dalam hadist tersebut statusnya sudah bukan sebagai alat tukar lagi, tapi sebagai barang.
Karena itu Dewan Syariah Nasional MUI melalui fatwanya Nomor: 77/DSN-MUI/V/2010 memberikan hukum jual beli emas secara tidak tunai adalah mubah alias diperbolehkan. Karena status emas adalah barang.
Jangan Menabung Uang
Kembali ke Uang sebagai Alat Tukar, dengan menyadari bahwa uang itu hanyalah sebagai alat tukar atau bisa juga dikatakan uang adalah alat untuk menilai suatu barang. Maka mengumpulkan uang adalah hal yang keliru.
Lho kok?
Ingat.. uang hanyalah nilai suatu barang. Mengumpulkan uang, artinya cuma mengumpulkan nilai barang-barang yang sudah kita jual. Lalu nilai itu buat apa?
Uang baru punya fungsi ketika sudah ditukarkan. Maka jangan menyimpan harta dalam bentuk uang. Simpanlah dalam bentuk barang. Terutama barang yang nilainya terus naik.
Contohnya emas, saham, property, tanah, dll.
Atau jadikan dia modal usaha, putar lagi agar bisa menghasilkan uang lagi.
Orang kaya berpikirnya bukan, wah saya mendapat uang. Tapi mereka berpikir, bagaimana dengan nilai segini bisa mendapatkan barang yang nilainya lebih tinggi lagi.