Saya tinggal di Surabaya. Jika anda dari luar kota dan kebetulan singgah di Surabaya, anda akan menemukan sebuah kota yang hijau, taman-taman dengan aneka ragam bunga. Jalan-jalan juga bersih tanpa sampah. Kemacetan di Surabaya juga tidak terlalu parah, biasanya terjadi di jam-jam masuk kantor/sekolah dan jam pulang saja. Itupun paling tidak sampai berjam-jam, mungkin paling lama ya 2 jam-an walaupun jarang sekali terjadi.
Tapi tahukah anda, bahwa masyarakat Surabaya kebanyakan bukanlah orang yang pandai menjaga kebersihan. Buang sampah di tempatNYA, akan terbaca BUANG SAMPAH DI TEMPAT (tanpa nya). Alias dimana dia berdiri di situ dia buang sampah.
Bahkan ajaran buang sampah di tempat ini, diajarkan ke anak cucunya. Jangan heran kalau ada anak makan jajan maka sama orang tuanya disuruh buang di tempat. Sama sekali gak ada upaya mencari tempat sampah, walaupun jaraknya hanya beberapa meter saja.
Tapi Surabaya punya pasukan kebersihan yang luar biasa. Mungkin karena tulisan-tulisan gak mempan untuk mengingatkan. Apalagi yang katanya denda 50 juta, gak pernah ada yang kena. Padahal kalau mau nongkrong sebentar aja di CFD ( Car Free Day ) di Bungkul, anda bisa dapat banyak tersangka pembuang sampah sembarangan. Tapi mana? Gak ada satupun yang dihukum. Akibatnya, prilaku negatif itu terus berlangsung.
Tapi kok Surabaya bisa kelihatan bersih ya? Yup, rahasianya ada di Pasukan khusus dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya. Bayangin, setiap CFD akan berakhir, pasukan ini telah berbaris di sepanjang jalan Darmo. Bukan 1-2 orang tapi puluhan bahkan mungkin sampai ratusan orang. Berdiri berjajar dengan jarak hanya 5 meter saja.
Maka ndak usah heran, meski waktu CFD sampah berserakan di jalanan, hanya kurang dari 10 menit setelah CFD ditutup, jalan Darmo kembali bersih.
Dimana Kontribusi Masyarakat?
Masyarakat perkotaan, khususnya Surabaya mungkin terlalu dimanjakan pasukan khusus ini. Bayangkan, selokan di kampung-kampung saja, yang membersihkan ya pasukan ini. Lha masyarakat kotanya nggak ada yang mau berkotor-kotor ria. Kalaupun ada kerja bakti, biasanya cuma sebatas kemampuan alat saja menjangkau selokan. Untuk daerah yang tidak terjangkau ya gak diapa-apakan, kecuali ada warga yang berani nyemplung membersihkan. Tapi itu sangat jarang dan tidak semua RT punya, apalagi yang perumahan.
Sebenarnya ada langkah kecil yang harusnya semua masyarakat mampu. Yaitu masalah sampah. Setidaknya ada 3 langkah penting dalam mengelola sampah mandiri yang bisa dilakukan. Memang tidak mudah, tapi seandainya dinas pendidikan kota bisa membuat program pembiasaan di tiap TK dan Sekolah Dasar, maka ini akan sangat membawa perubahan besar di kemudian hari.
1. Membuang sampah di TEMPAT SAMPAH
Pembiasaan pertama adalah membuang sampah pada tempat sampah. Slogannya sih banyak dimana-mana, tapi pada prakteknya amatlah susah. Di kampung saya saja, tiap rumah di depannya ada tong sampah, jarak antar rumah tidak ada, alias dempet. Jarak antar tong sampah paling jauh cuma 10 meter. Bersih? TIDAK!
Masih ada saja PEMALAS yang enggan berjalan beberapa meter membuang sampah di tong sampah. Miris memang, pengen jitak aja tuh orang. Ini gak bisa dibiarkan terus menerus.
Anak saya yang masih 5 tahun, sejak kecil saya biasakan membuang sampah di tempat sampah. Kalau dia buang sembarangan saya suruh pungut lagi dan cari tempat sampah. Tak peduli seberapa jauh tempatnya, dia akan berjalan ke sana meski yang dibuang hanya bungkus permen kecil saja.
Dan sekarang kalau dia makan dan ada bungkusnya, dia akan berusaha mencari tempat sampah untuk membuang bungkus itu. Tanpa disuruh lagi.
Saya lalu berpikir, harusnya ada kurikulum tersendiri di sekolah tentang etika dan tata krama. Dan itu bukan dengan sekedar teori, tapi praktek. Praktek antri, praktek buang sampah di tempat sampah dan seperti yang saya lakukan, jika ada yang buang sampah sembarangan, langsung minta dia memungkut dan membuangnya ke tong sampah.
2. Memisahkan Jenis Sampah
Level berikutnya adalah memisahkan sampah. Antara sampah organik dan non organik. Pemisahan ini seharusnya sudah harus dimulai dari dapur rumah tangga. Karena jika sudah tercampur, biasanya kita akan enggan untuk bongkar-bongkar lagi. Maka memisahkan sampah sejak membuangnya pertama kali akan sangat membantu.
Kenapa sih sampah perlu dipisahkan? Karena pengolahannya berbeda antara sampah organik dan non organik. Untuk sampah organik, dibiarkan saja dalam tanah dia akan jadi pupuk. Sedangkan yang non organik tidak bisa seperti itu, dia harus diolah dulu.
Keuntungan lain memisahkan sampah adalah mempermudah kinerja para pemulung. Jika kita campur, mereka akan mengorek-orek sampah. Akibatnya, sampah kita malah berantakan dan mempersulit petugas pengangkut sampah.
3. Mengolah Sampah Mandiri
Ini yang mungkin masih jarang dilakukan. Tapi dengan edukasi yang cukup, pengelolaan sampah mandiri akan sangat membantu pemerintah kota dalam mengatasi sampah.
Sebagian besar sampah itu kan organik ya. Solusi jitu, murah dan mudah adalah dengan membuat komposter skala rumah tangga.
Hasil dari Komposter ini bisa digunakan sebagai pupuk tanaman bunga atau tanaman buah dalam pot (Tabulapot) sehingga selain mengurangi sampah, juga akan meningkatkan kesuburan tanaman dan tentunya akan memperindah kampung kita.
Salah satu cara membuat komposter untuk rumah tangga bisa anda lihat pada list video berikut ini:
Tapi memang untuk sampai tahap ini butuh waktu yang tidak sebentar. Saya melihat pemerintah masih seperti menadahi kebocoran, bukan pada tahap menambal genteng yang bocor.
Alih-alih berupaya menyadarkan masyarakat, pemerintah lebih fokus kepada menghilangkan efek buruk perilaku masyarakat. Tapi memang lebih mudah sih menadahi kebocoran daripada harus naik genteng menambal yang bocor.
Saya sendiri saat ini masih mencoba membangun kesadaran hidup bersih di lingkungan RT. Eh siapa tahu melalui sharing di blog ini, ada banyak RT-RT lain yang ikut serta, sehingga biar pemerintah yang beresin efek perilaku negatif, kita-kita membantu dengan mengurangi efek itu melalui penyadaran masyarakat. Mau ikut juga?? Monggo…